Monday, April 24, 2006

...the more winding the road gets...

Assalamualaikum dan sejahteralah ke atas kamu...

Hari Senin Umanis – Sungsang,
Siang ke 9 Mulud 1928,
Tahun Alip.

Hari ke 30, bulan kedua menjadi hamba kepada Hamba...

___________ooOoo___________
oO(O)Oo
Batu terukir nyawa
_________________________________________
Telah beribu kali sang suria bersilih tempat dengan sang purnama, namun, di tapak purba ini tetap gagah berdiri dengan rapuh batu yang diberikan rupa ini.

Satu waktu dahulu, tika hangat mentari masih lagi diselimuti godaan sang bayu dari utara, pernah Sang Batu menjadi dewa kepada Sang Pari-Pari bersayap putih, berdebu kupu-kupu.
Tak kira waktu, tanpa iseng Sang pari-pari membalut Sang Batu dengan kucup ikab yang sepanas nafas Sang Ijajil.

Amat indah sekali nikmat pawana ini.

Namun, bila selimut dingin bayu utara mencicit ketakutan bila mentari pagi meningkat usia, Sang Pari-Pari mula meminta diri dengan takzim yang amat sinis sekali.

Tinggallah Sang Batu sendiri. Bekas-bekas kucupan ikab pun mula menampakkan rupanya yang jati. Pedihnya amat terasa, namun, sudah menjadi resam batu yang diukir nyawa, tangisnya tiada berupa. Hanya berharap pada titis-titis ehsan dari langit yang kering mengukir denai unutk tangis yang tiada rupa.

Sang Batu amat kepingin untuk mundur, setidak-tidaknya mandir.

Namun, nyawanya hanya satu ukiran. Kaki tegapnya tak mungkin akan teralih walau seinci pun.
Tetap dia terpaku di tapak purba itu.

Tika usia mentari makin meningkat, hijab tuan kepada para Malaikat mula tersingkap. Di sisi telapak kakinya yang terpaku, tumbuh mawar-mawar biru. Ah, harum sekali baunya, bisa buat hati gundah terlena.

Tapi apakan daya.

Sang Batu kan tetap begitu. Harum bau mawar biru hanya dapat dihidu dengan nyanyian ciak-ciak yang datang berlagu, tidak dengan jantung yang berdegup laju.

Tetaplah Sang Batu begitu, sayu.

___________ooOoo___________
oO(O)Oo
Glosari
pari-pari = fairies
iseng = kecewa
ijajil = the devil
ikab = seksa
pawana = api

___________ooOoo___________
oO(O)Oo
insan bernama aku

Berlutut di kaki ibu,
anak kecil menagis sayu,
menyesali ceritera lalu.

Bersujud di kaki ayah,
menitis mutiara ibu bersama kesah,
mengenang anaknya sayu dan lemah.

Sakit luka berdarah,
tercalar lebar berdarah,
di denai duri bersepah.

Bertalqin mendayu-dayu,
batu nesan retak seribu,
pada insan bernama aku.

___________ooOoo___________
oO(O)Oo
hadap irama cengkerik yang lain nanti,
jemari lacur ini akan menari lagi,
hadap irama cengkrik yang kian lewat ini,
jemari lacur ini ingin berlabuh di jeti mentari.

___________ooOoo___________
TERIMA KASIH
___________ooOoo___________
oO(O)Oo

25 comments:

MidlifeCrisisDolmat said...

A story about a rock! How quaint!

I'm just kicking myself for not thinking about it in the first place. :)

Nicely done, Lord Demon. Nicely done.

demonsinme said...

MASTER SHARIMAN:

It is actually lame. A product of an old mind.

Fara said...

correct me if im wrong, but you're not talking about a tombstone, are you?

demonsinme said...

MISS FARA: nope i'm not, at least not in the conventional tombstone way.

anggerik merah said...

Demo, biar kan yang berlalu pergi bagai debu-debu yang berterbangan...

usah diungkit yang berlalu...Masih jauh perjalanan hidup..pastinya ada sinar yang mendatang..

(emmm...my summary for several earlier entry of yours. Maaf my lord demo, bahasa ku tak seindah bahasa mu..)

demonsinme said...

ANGGERIK MERAH:

Memang hamba biarkan debu-debu lalu berterbangan. Dan sememangnya hamba biarkan yang berlalu tertanam bersama debu.

Tak perlu memohon ampun, bahasa mu jua seindah pagi yang berembun.

anggerik merah said...

My lord demon, pujian mu tentang bahasaku, membuatkan aku berkobar-kobar ingin mengasah kembali indahnya bahasa yang telah lama hilang dibenakku...:-)

anggerik merah said...

oopppp...ralat..
Mu = tuan hamba
Aku = hamba

demonsinme said...

Lady Red Orchid:

Mano ado ghalat...

anggerik merah said...

Penggunaan perkataan yg tak sesuai diatas. Sebab tu kena betulkan..hehe :-)

Gukita said...

Kata-kata indah membayang maksud
Coretan puitis dari benak hati suci
Menggambar pengorbanan tanpa batas
Menghayati hidup pasrah takdir
Walau dilupa, dicemuh, dihina
Bakti suci tetap diberi
Apa diharap kepada buih-buih
Yang kan hilang disinar mentari
Jika yang abadi terlepas pergi
Pasrah aku menerima takdir...

demonsinme said...

ME LORD le UNC de la AKH:

Aiiii....a poem that bring tears to the carved eyes of mine.

Gukita said...

Deme,
Isn't that what your write-up is all about?

demonsinme said...

ME LORD le UNC de la AKH:

True, that is what my write up all about, but, it becomes much more better when you wrote it in your poem.

marina said...

Very poetic indeed Demon sir...

Maya said...

oh dear..how your 'batu' can be so profoundly described.. i am so feeling ya..

Maya said...
This comment has been removed by a blog administrator.
Maya said...
This comment has been removed by a blog administrator.
demonsinme said...

Miss MARINA: Tahnk you
Miss MAYA: A batu is a batu, there's nothing new about the batu.

Gukita said...

Deme,
what I wrote was hardly a poem.

demonsinme said...

ME LORD le UNC de la AKH:
Say what you may, me lord, but I still think its more beautiful than 100s of poems I wrote.

MidlifeCrisisDolmat said...

buiHaven't been updating much lately I see, Lord Demon.

A brief hiatus from your literistic endeavors, perhaps?

demonsinme said...

MASTER SHARIAMAN:

In due time I will, but for now, my hands are tight up with work.

Much thanks for your concern.

Count Byron said...

Beautiful rendition of the calls of the heart. I love the poignant tinge the lines leave as i made a quiet exit. Lovely my son, to say the least.

demonsinme said...

Me Lord Abah de la Count:

I thank, but truth be told, my words are like dry hay compared to the roses that resemble your words.