Assalamualaikum dan sejahteralah ke atas kamu...
Hari Senin Umanis – Sungsang,
Siang ke 9 Mulud 1928,
Tahun Alip.
Hari ke 30, bulan kedua menjadi hamba kepada Hamba...
___________ooOoo___________
oO(O)Oo
Batu terukir nyawa
_________________________________________
Telah beribu kali sang suria bersilih tempat dengan sang purnama, namun, di tapak purba ini tetap gagah berdiri dengan rapuh batu yang diberikan rupa ini.
Satu waktu dahulu, tika hangat mentari masih lagi diselimuti godaan sang bayu dari utara, pernah Sang Batu menjadi dewa kepada Sang Pari-Pari bersayap putih, berdebu kupu-kupu.
Tak kira waktu, tanpa iseng Sang pari-pari membalut Sang Batu dengan kucup ikab yang sepanas nafas Sang Ijajil.
Amat indah sekali nikmat pawana ini.
Namun, bila selimut dingin bayu utara mencicit ketakutan bila mentari pagi meningkat usia, Sang Pari-Pari mula meminta diri dengan takzim yang amat sinis sekali.
Tinggallah Sang Batu sendiri. Bekas-bekas kucupan ikab pun mula menampakkan rupanya yang jati. Pedihnya amat terasa, namun, sudah menjadi resam batu yang diukir nyawa, tangisnya tiada berupa. Hanya berharap pada titis-titis ehsan dari langit yang kering mengukir denai unutk tangis yang tiada rupa.
Sang Batu amat kepingin untuk mundur, setidak-tidaknya mandir.
Namun, nyawanya hanya satu ukiran. Kaki tegapnya tak mungkin akan teralih walau seinci pun.
Tetap dia terpaku di tapak purba itu.
Tika usia mentari makin meningkat, hijab tuan kepada para Malaikat mula tersingkap. Di sisi telapak kakinya yang terpaku, tumbuh mawar-mawar biru. Ah, harum sekali baunya, bisa buat hati gundah terlena.
Tapi apakan daya.
Sang Batu kan tetap begitu. Harum bau mawar biru hanya dapat dihidu dengan nyanyian ciak-ciak yang datang berlagu, tidak dengan jantung yang berdegup laju.
Tetaplah Sang Batu begitu, sayu.
___________ooOoo___________
oO(O)Oo
Glosari
pari-pari = fairies
iseng = kecewa
ijajil = the devil
ikab = seksa
pawana = api
___________ooOoo___________
oO(O)Oo
insan bernama aku
Berlutut di kaki ibu,
anak kecil menagis sayu,
menyesali ceritera lalu.
Bersujud di kaki ayah,
menitis mutiara ibu bersama kesah,
mengenang anaknya sayu dan lemah.
Sakit luka berdarah,
tercalar lebar berdarah,
di denai duri bersepah.
Bertalqin mendayu-dayu,
batu nesan retak seribu,
pada insan bernama aku.
___________ooOoo___________
oO(O)Oo
hadap irama cengkerik yang lain nanti,
jemari lacur ini akan menari lagi,
hadap irama cengkrik yang kian lewat ini,
jemari lacur ini ingin berlabuh di jeti mentari.
___________ooOoo___________
TERIMA KASIH
___________ooOoo___________
oO(O)Oo