Sunday, March 04, 2007

...and more of these will be told...

Assalamualaikum dan sejahteralah ke atas kamu...

Hari Kliwon-Bala,
Siang ke 13 Bulan Rumah Di Kosongkan Untuk Berperang,
Tahun Ehe,

Hari ke 16 menjadi hamba kepada hamba...

___________ooOoo___________
oo(O)oo

MAMAK BENDAHARA...

___________ooOoo___________
oo(O)oo

Tegap berdiri bersendeng sendi, Sang Siluman Raja mengadap mentari pagi igauan indah para pak tani.

Ribut Barat yang melanda Istana Sunyinya di kala Sang Pemula Akhir merendahkan kaki untuk dicium dahi-dahi Para Penunggang Berahi, masih membekaskan luka di darah beku yang bergendang di antara belulang yang terikat pada belikat.

Tidak pernah sunyi ribut itu dari sulbi Sang Siluman Raja.

Di tegak tegap bersendeng sendi ini, dia mengimbau kembali hari-hari yang telah mati.

Pernah di suatu ketika, gurun hatinya sentiasa dilitup salju baldu berwarna putih.

Di saat itu dirinya lengkap sebagai satu. Sang Siluman Raja - orang yang kaya.

Dia kaya berhartakan bukan intan bukan berlian, jauh sekali emas mahupun permata tetapi dengan jasad kasar berjiwa halus.

Namun, bersama lalunya masa, sedikit demi sedikit kekayaan Sang Siluman Raja berpindah milik. Ada duduknya di kocek dada lawan sang pria, tak kurang juga dengan yang kembali ke tanah asal sang bayi sebelum dia pertama kali menjerkah dunia.

Namun yang paling Sang Siluman Raja, hartanya yang kini dimilik dunia.

Itulah Sang Mamak Bendahara, jiwa halus yang kini lena di bantal baldu berlapik batu duniawi.

Mengenangkan Mamak Bendahara, mata Sang Siluman Raja pasti berkaca, sedihnya hingga kini teramat bisa.

Sepuluh kitar lengkap musim-musim yang lalu, ketika Sang Siluman Raja masih tegar sebagai jasad bernyawa dan punya berahi tinggi untuk berpencak dengan tapak silat penghidup minda yang mati, langkahnya terpijak bekas tapak Mamak Bendahara.

Ketika itu, Sang Siluman Raja masih punya daya untuk menyingkap kulit khinzir yang menekup telinga dan membalut sukma titisan Hawa dari gema sumbang Pemanggil Pengingat yang tak kenal jerih melolongkan mantera memancing penyembah angkuh yang sudi bangkit sebelum Sang Mentari menarik sauh yang terlabuh.

Di satu antara beribu hari yang telah berlalu pada musim musim pertama sepuluh kitar musim berlalu itu, Sang Siluman Raja bertemu Mamak Bendahara...

Pertemuan itu amat indah sekali.

Tika itu, Sang Siluman Raja sedang duduk kaki terlipat, tangan menongkat langit di permaidani tempat mata amarah mencium ludah sesal tapak yang tersepak kopiah. Dari rekah dua tangannya yang menadah ihsan yang terhijab dari mata, terpandang putera leka ini pada pemimpin pasukan pengemis yang dalam jihad menahan telanjang nafsu pada titis embun hari itd.

Terpandang dia pada Mamak Bendahara, rebung berusia 22 tujuh takbir qurban, duduk dilitupi cahaya putih...

Bermula dari saat itu, terbitlah pucuk hijau kasih seorang akhi di hati merah Sang Siluman Raja yang anggunnya hanya tertanding dek lukisan bibit fajar siddiq.

Sang Siluman Raja tiada lagi menjadi bungsu sepi, dia kini punya anugerah yang bergelar akhi. Jalannya ke penghujung duniawi kini ada penyuluh kala kelam dinihari.

Namun, bak angin yang berlalu, tiada apa yang tetap kekal...

Tiga sundal masa menjengah rebung berusia 22 takbir qurban menambah kulapuk yang berlapikkan miang dan lumut di empulur anak buluh lembut ini.

Sundal pertama, namanya Teman Tidur Si Fakir.

Sundal kedua, namanya Sang Penyanggah Si Buntut Raja.

Sundal ketiga, namanya Suri Badi.

Terlena Sang Mamak Bendahara dengan syair syahdu, ciuman palsu sundal bertiga.

Terhijablah nur terpacul suram diubun-ubunnya menukar helaian hitam rambut menjadi uban suram lagi seram.

Dan...

Tertampanlah dan terserpihlah Sang Siluman Raja dari kenyamanan persahabatan.

Dan terciptalah dirinya yang sentiasa dipeluk kesepian.

- tamat untuk tika ini tatkala menanti penghujung yang baru -

___________ooOoo___________
oo(O)oo

Stailo Said wal Seksi Seripah

Stailo Said wal Seksi Seripah,
pemuda tampan dan pemudi indah,
asal dari Si Darah Merah,
yang dikukuh dengan debu Kaabah,
namun alah dek bayang Penafi Titah.

Hai Stailo Said wal Seksi Seripah,
mengapa dibiar kancing pantelon tercapah,
mengapa dibiar puting merah mengadah,
mengapa dibiar kangkang bapamu diludah,
mengapa dibiar pusat emakmu diredah,
mengapa dibiar ubun abangmu dipecah,
mengapa dibiar tundun kakakmu dicicah.
mengapa dibiar bibir adikmu dirancah?


Aduhai Stailo Said wal Seksi Seripah,
tidak mengapa jika rambutmu merah,
tidak peduli jika langkahmu bersepah,
namun,
jangan dibiar daulatmu jadi pariah.


___________ooOoo___________
oo(O)oo

hadap irama cengkrik yang lain nanti,
jemari lacur ini pasti menari lagi,
hadap irama cengkerik ini,
jemari lacur ini mahu labuh di jeti mentari.


___________ooOoo___________
oo(O)oo
_______TERIMA KASIH_______
_______O_______

0 comments: